Preface:Maaf sekali lagi ini repost tulisan lama (2008) dari blog saya yang sebelah. Bukan apa-apa cuman dikumpulin aja biar akur. hehehe.
ini masih lanjutan postingan yang sebelumnya (Jalan Berliku Menuju Makassar). Semoga kalian malas membaca. 🙂
TAMPARAN yang cukup memerah kembali kurasakan. Hikmahku benar-benar diambang kehancuran. Among rosone awake dewe, itu yang sekarang kurasa lepas kendali. Baru saja kemarin tamparan demi tamparan kuterima, tapi belum juga membekas dan memberi hikmah. Lupa, khilaf, dan lupa lagi.
Tiupan angin sejuk dari wali santri pada pertemuan kemarin membuat diameter kepalaku bertambah beberapa centimeter. Di sana ikut tertiup juga dengan harapan-harapan untuk mendapatkan medali dan bahkan sekedar pengakuan diri atas capaian yang sudah kuperoleh dengan anak-anak. Aku tidak sadar keihlasan mulai tergoyah sedikit-demi sedikit.
Sebuah balon harapan kembali tertiup. Kemarin diinformasikan akan dipamitkan Pak Bupati untuk anak-anak yang akan berangkat ke Makassar. Akupun merasa senang. Senang akan bertemu dengan Bapak Bupati. Tokoh yang akhir-akhir ini mampu membuat aku terkesiap karena kecerdasan dan kepandaiannya. Diam-diam aku merasa bangga. Ada perhatian dari yang berwenang. Meskipun tidak berharap dikasih uang transport atau materi lain. Dengan waktu yang diluangkan untuk mau menemui kami, itu sudah cukup mengobati. Jadwal pun juga sudah disampaikan. Bahwa hari ini akan bertemu dengan Bapak Bupati.
Tapi sebenarnya aku sedikit ada keresahan dengan agenda ini. Dengan bertemu pejabat dinas, dan bupati, takut nantinya anak-anak dibebani ataupun terbebani “pulang” harus bawa medali. Tapi, anak-anak sudah aku persiapkan jauh-jauh hari, bahwa motivasi belajar biologi adalah menuntut ilmu, bukan semata kemenangan atau bahkan sekedar medali.
Aku siap bertemu dengan Bapak Bupati. Anak-anak juga sudah siap. Dengan harapan pengakuan dan terselip kebanggaan diri. .
Tapi , ternyata Allah memang sangat sayang dengan aku. Ketika aku sudah mulai melupakan Kemahakuasaannya, tamparan keras kurasakan lagi. Protokoler Bupati menunda pertemuan sampai saat yang belum bisa diatur jadwalnya. Ustad Roni sepertinya membaca kekecewaanku, dengan mendekatiku, dan mengatakan ” Tidak apa-apa ya Ustad?” Aku merasa bahwa aku sangatlah lemah, mudah sekali terlupa. Tapi barangkali itu yang ingin senantiasa Allah ingatkan kepadaku. Inilah cara Dia. Aku tidak berhak mencampurinya hanya berkewajiban melaksanakannya.
***
Pagi hari berikutnya, Ustad Roni menelepon “Nanti siang jam 10.30 kita menghadap Pak Bupati, tolong anak-anak di hubungi”
Aku tidak mau senang lagi, atau aku tidak mau kecewa lagi. Bukankah sebenarnya itu kabar menyenangkan? Sudahlah. Aku semakin sadar. bahwa Dia Maha Mengatur Segala Sesuatu. Apalagi hanya urusan pertemuan dengan Bupati. Inna Allah ala kulli syaiin qadir.
***
Tadi pagi tiket pesawat PP Surabaya-Makassar sudah di tangan. Seakan dibalik tembok belakang lemari penuh piala itu Makasar bersembunyi. Tapi sekali lagi, apa yang akan terjadi, aku tidak berani lagi mendahului, apalagi dari sebelah kiri.
]} Komentarmu